Ibnu Hazm dan Beberapa Pendapat Kocaknya
Nama lengkap
guru besar fiqih dzahiri dari Spanyol itu adalah Ali bin Ahmad bin Sa’id bin
Hazm Al Andalusi, Abu Muhammad. Dilahirkan di kota Cordoba pada 30 Ramadhan 384
H. Beliau tergolong ulama besar Andalus pada masanya dan termasuk ulama yang
sangat produktif dalam menghasilkan karya tulis yang fenomenal.
Ibn Hazm tumbuh
dan besar di lingkungan keluarga yang berkecukupan; karena sang ayah adalah
seorang menteri, bahkan beliau sendiri pun juga pernah menjabat sebagai seorang
menteri, namun walaupun demikian, kemewahan istana dan kekayaan yang dimiliki
tidak membuatnya malas untuk menggali ilmu sehinga memebuatnya salah seorang
ulama Islam yang namanya dikenal di setiap penjuru dan dicatat dalam buku-buku
biografi tokoh-tokoh besar.
Ibn Hazm
menuntut ilmu kepada para ulama Andalus pada masannya, sehingga beliau
menguasai berbagai disiplin ilmu, seperti Tafsir, Hadits, Aqidah, Fiqih dan
lainnya. pada awalnya ibn hazm dalam bidang fiqih bermadzhab syafi’i, kemudian
ia berpindah menjadi seorang dzahiri. Ia tidak hanya menguasai ilmu agama,
tetapi juga menguasai ilmu yang lainnya seperti ilmu kedokteran dan beliau
mengarang beberapa buku dalam hal itu.
Awal Mula Kenapa
Ibnu Hazm Al Qurthubi Belajar Fiqih
Imam Adz Dzahabi
dalam kitab Siyarnya (jilid 18/hal 199) menceritkan sebuah cerita tentang kapan
dan kenapa Ibnu Hazm Al Andalusi mulai belajar ilmu fiqih.
Dengan sanad
kisah yang sampai kepada Ibnu Hazam, Imam Syamsuddin Adz Dzahabi memulai
ceritanya:
"Orang tua
Imam Abu Bakar ibn Al 'Arabi yang bernama Abu Muhammad Abdullah bin Muhammad
medengar cerita Ibnu Hazm senduri tentang sebab dirinya belajar ilmu fiqih.
Suatu hari guru besar madzhab Adz Dzahiriyah ini ikut shalat jenazah di sebuah
masjid, ketika beliau masuk ke dalam masjid itu, sambil menunggu dimulainya
shalat jenazah beliau langsung duduk dan tidak shalat tahiyat masjid, lalu
datang seorang laki-laki yang menghampiri beliau dan berkata: "ayo
berdiri! Shalat tahiyat masjid dulu" kata si lelaki itu. Lalu Ibnu Hazm
pun berdiri dan shalat.
"Setelah
pulang dari pemakaman jenazah, beliau kembali lagi ke masjid tersebut, dan
waktu itu tepat setelah shalat Ashar, setelah masuk dengan mantap beliau shalat
tahiyat masjid, namun ada seseorang yang menghampiri dan berkata: "Duduk!
Duduk! Ini bukan waktunya shalat" ucap orang tersebut.
"Lalu Ibnu
Hazm pulang dalam keadaan sedih dan malu. Setelah kejadian itulah beliau minta
kepada salah seorang guru pendidiknya agar memberitahunya seseorang yang bisa
mengajarinya ilmu fiqih. Lalu ditunjukanlah kepadanya seorang faqih bernama Abu
Abdillah bin Dahun. Kepada sang guru fiqih ini beliau ceritakan kejadian yang
terjadi di masjid tempo hari, sang faqih tersebut menganjurkan Ibnu Hazm untuk
membaca karya luar biasa Iamam Daar Al Hijrah "Al Muwattha".
Mualailah Ibnu Hazm mempelajari dan membaca kitab tersebut dan juga kitab-kitab
lainnya selama kurang lebih tiga tahun, seperti yang beliau tuturkan
sendiri"
Dari situlah
mulai pengembaraan Kiyai dan Tuan Guru fiqih Adz Dzahiriyah ini dalam bidang
fiqih, dan usianya saat itu seperti yang beliau tuturkan sendiri adalah 26 tahun.
Diantara Karya
Ibnu Hazm
Diantara
karya-karya Ibn Hazm yang populer adalah Al Ihkam fi Ushuli Al Ahkam, Ibthalu
Al Qiyas, Al Muhalla Bi Al Atsar, Jawami’ As Sirah, Jamharah Ansab Al ‘Arab dan
banyak lagi karya-karya beliau yang lainnya.
Tragedi Dibakarnya
Buku-Buku Beliau
Pernah suatu
hari seseorang datang ke rumah Ibnu Hazm Al Qurthubi untuk memperingatinya agar
tidak mengeluarkan serta menulis pendapat dan fatwa yang menyimpang dan berbeda
dari ulama-ulama yang lain yang semasa dengan beliau. Setelah mendapat
peringatan tersebut Ibnu Hazm hanya berkata kepada orang itu: "aku menulis
pendapat yang aku yakini kebenarannya dan aku merasa puas dengan pendapat itu,
aku tidak menulis agar orang lain ridha atau murka kepadaku".
Tidak lama
setelah peringatan itu, datang beberapa orang ke rumah beliau dan masuk tanpa
izin pemilik rumah, mereka mengambil semua buku-buku yang di dalamnya terdapat
pendapat-pendapat dan fatwa Ibnu Hazm yang beliau tulis. Orang-orang itu pun
membawa buku-buku tersebut ke sebuah tanah lapang yang ternyata di sana sudah
disiapkan api yang sudah menyala, selang beberapa saat buku-buku itu pun
dilemparkan ke kobaran api tersebut, Ibnu Hazm yang tadi mengikuti mereka hanya
dapat pasrah melihat karya-karyanya dilemparkan ke api seraya berucap:
"Jika
kalian bisa membakar kertas-kertas itu, maka ketahuilah bahwa kalian tidak akan
pernah bisa membakar apa yang tertulis di kertas itu; karena ia ada di dalam
dadaku.
"Ia akan
selalu berjalan bersamaku ke manapun aku pergi, dan di manapun aku tinggal ia
akan tinggal bersamaku, bahkan ia akan bersamaku hingga nanti saat aku berada
dalam kuburku".
Untungnya
setelah pembakaran itu beliau tidak hilang semangat dan putus asa, beliau
tuliskan lagi pendapat beliau yang pernah tertuang di kertas-kertas yang
dibakar habis itu. Bersama orang kepercayaannya beliau menulis ulang semua yang
pernah beliau tulis, hingga akhirnya karya-karya itu sampai pada kita saat ini.
Pada 28 Sya’ban
tahun 456 H tidak sedikit orang yang berduka karena kepergian salah satu ulama
besar pada masanya. Tuan guru ahli fiqih madzhab dzahiri, Ibn Hazm pada hari
itu menghembuskan nafas terakhirnya pada usia 72 tahun.
Semoga Allah
membalas jasanya terhadap ilmu dan para penuntut ilmu dan menjadikan apa yang
ia kontribusikan untuk agama ini berada dalam timbangan kebaikannya pada hari
kiamat nanti.
Beberapa
Pendapat Fiqih Ibnu Hazm yang Mengundang Tawa
Lupa Niat Puasa
Di Malam Hari
Menurut Ibnu
Hazm, jika seseorang lupa melakukan niat puasa Ramadhan di malam hari, dan baru
ingat di siangnya atau bahkan baru ingat ketika hampir waktu buka dan tidak
tersisa waktunya kecuali hanya sekedar untuk niat saja, maka ia harus berniat
puasa pada saat itu juga, puasanya sah dan tudak perlu diqadha, walaupun ia
sudah makan dan minum atau bahkan sudah berhubungan suami istri. (Ibnu Hazm w.
456 H, Al Muhalla, jilid 4 hal. 290)
Berbohong Itu
Membatalkan Puasa
Menurut Imam
Madzhab Al Hazmiyah, sesorang yang sedang berpuasa jika melakukan maksiat
seperti berbohong, menggunjing atau menggibah orang, mengadu domba, berbuat
dzolim ataupun maksiat-maksiat lain jika ia lakukan dengan sengaja dan dalam
keadaan tidak lupa bahwa ia sedang puasa maka puasanya batal dan tidak sah, bukan
hanya pahala puasanya yang batal seperti pendapat jumhur. (Ibnu Hazm w. 456 H,
Al Muhalla, jilid 4 hal. 304)
Pokoknya Harus
Diam
Wanita bikr
(perawan) jika ingin dinikahi atau dinikahkan maka terlebihdahulu dimintai
izinnya. Izinnya menurut mayoritas ulama fiqih minimal adalah diamnya ia, dan
jika ia berkata "iya" atau memberikan isyarat setuju maka hal itu
lebih boleh. Pendapat ini berdasarkan hadits Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam saat ditanya oleh para sahabatnya bagaimana izinnya wahai Rasulallah?
Beliau menjawab: "izinnya adalah diamnya" . Adapun selebihnya, maka
mereka berdalil dengan mafhum muwafaqah hadits tersebut, kalau diamnya saja
merupakan izin, maka apalagi jika si dia mengatakan "iya" atau
memberi isyarat setuju, maka itu merupakan izin + +. Begitu menurut jumhur
fuqaha.
Namun berbeda
dengan Ibnu Hazm Al Qurthubi, beliau tidak sepenuhnya setuju dengan mayoritas
ulama mengenai izin wanita bikr ini, menurut beliau wanita perawan ketika
dimintai izin untuk dinikahkan maka pokoknya ia harus diam jika memang setuju
untuk dinikahkan, jika ia berkata "iya" atau "mau" atau
"setuju" maka itu tidak dianggap izin dan ia tidak boleh dinikahkan;
karena ia tidak diam. Dalam bukunya Al Muhalla beliau berkata:
وكل بكر فلا يكون إذنها في نكاحها إلا
بسكوتها، فإن سكتت فقد أذنت ولزمها النكاح، فإن تكلمت بالرضا أو بالمنع أو غير
ذلك، فلا ينعقد بهذا نكاح عليها.
"Setiap
perawan maka izinnya ketika ingin dinikahkan hanyalah diamnya, jika ia diam
maka berarti ia mengizinkan dan nikahnya menjadi lazim, namun jika ia berkata
"setuju" atau "tidak setuju" atau perkataan lain, maka
tidak boleh dinikahkan" (Al Muhalla jilid 9/hal 57)
Dalil yang
digunakan Ibnu Hazm untuk pendapatnya ini sama dengan dalil jumhur ulama, yaitu
hadits:
"ولا
تنكح البكر حتى تستأذن" قالوا: يا رسول الله وكيف إذنها؟ قال: "أن تسكت"
"Wanita
perawan tidak boleh dinikahkan hingga dimintai izin" para sahabat
bertanya: bagaimana izinnya wahai Rasulallah? Beliau menjawab: "diamnya
ia"
Menurut Ibnu
Hazm, dalam hadits ini dan juga hadits-hadits lain yang serupa Nabi hanya
menyebutkan bahwa izinnya si perwan hanyalah diam saja, bukan berkata
"iya" atau "setuju" dan lainnya, jadi jika setuju nikah
pokoknya harus diam.
Boleh Berkuraban
Dengan Hewan Apapun yang Halal
Mayoritas ulama
dari empat madzhab fiqih, yaitu Al Hanafiyah, Al Malikiyah, Asy Syafi’iyah dan
Al Hanabilah sepakat bahwa hewan yang boleh dikurbankan hanyalah hewan ternak
berkaki empat, atau yang dikenal dengan istilah Al An’am dalam buku-buku fiqih,
yaitu unta, sapid dan kambing. Maka menurut mereka selain hewan-hewan tersebut
tidak boleh dijadikan hewan kurban.
Namun berbeda dengan Ibnu Hazm, dalam masalah
ini beliau menyelisihi mayoritas ulama, beliau berpendapat bahwa berkurban
boleh dengan semua hewan yang dagingnya halal dimakan, baik itu hewan berkaki
empat seperti unta, sapi, kambing, kuda dan hewan-hewan lain yang boleh dimakan
atau unggas seperti ayam, bebek dan burung-burung yang dagingnya dihalalkan
dalam Islam. (Al Muhalla, jilid 6, hal. 29)
Telur yang
Berdosa Tidak Akan Memikul Dosa Telur Lain
Di kitab Al
Ath'imah dalam bukunya Al Muhalla bi Al Atsar Ibnu Hazm Al Qurthubi membahas
masalah telur. Jika seseorang memasak sejumlah telur dalam satu wadah, lalu
ternyata di antara sejumlah telur itu ada telur yang busuk, maka telur busuk
itu tidak berpengaruh pada telur lain yang tidak busuk, artinya telur yang
tidak busuk masih tetap halal dan boleh dimakan, hanya telur yang busuk itu
saja yang harus ia buang.
Untuk menguatkan
pendapatnya ini Ibnu Hazm mengutip sebuah ayat dalam Al Qur'an, yaitu firman
Allah:
وَلَا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ
أُخْرَىٰ
"Dan orang
yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain"
Menurut beliau
telur tidak akan memikul dosa telur lain, dan yang halal akan tetap halal walau
berdekatan atau berdampingan dengan yang haram, dan sebaliknya yang haram tetap
haram biarpun berdampingan dengan yang halal. (Al Muhalla jilid 6/hal 95)
Malu-Malu
Memakai Qiyas
Sebagaimana kita
tahu bahwa Ahlu Dzahir dan Ibnu Hazm menolak qiyas sebagai salah satu dalil
untuk menetapkan hukum dalam Islam, namun anehnya jika kita menelaah buku Ibnu
Hazm, Al Muhalla kita akan menemukan cukup sering beliau menggunakan qiyas
untuk berdalil atas sebuah pendapat atau untuk membantah dalil dan argumentasi
lawan pendapatnya, hanya saja beliau malu-malu menggunakan qiyas tersebut
dengan mengatakan: "Inilah Qiyas, Jika Seandainya Qiyas Itu Benar".
Salah satu
contoh kasus Ibnu Hazm menggunakan qiyas ialah saat beliau membantah pendapat
Zufar (w 158 H) mengenai puasa Ramadhan tidak perlu niat.
Menurut salah
satu ulama dari madzhab Al Hanafiyah itu puasa di bulan Ramadhan tidak
memerlukan niat, selama seseorang itu tidak makan, minum, bersetubuh dan
melakukan pembatal-pembatal puasa yang lain di siang hari Ramadhan maka ia
sudah dianggap berpuasa walupun ia tidak berniat untuk puasa; karena menurutnya
bulan Ramadhan itu ya waktu untuk puasa, jadi tak perlu lagi niat puasa.
Ibnu Hazm (w 456
H), dalam salah satu bantahannya terhadap pendapat Imam Zufar (w 158 H) ini
menganalogikan begini: seandainya seseorang ingin melakukan shalat Shubuh, dan
waktunya telah masuk, kemudian ia shalat 2 raka'at tanpa niat shalat Shubuh,
seharusnya -kata Ibnu Hazm, jika kita menuruti pendapat Zufar (w 158 H)
tersebut- shalat Shubuhnya sah karena memang waktu itu waktu shalat Shubuh dan
bukan waktu shalat lain. Kemudian beliau menutup bantahannya ini dengan
statement "inilah qiyas, jika seandainya qiyas itu benar"
Allahu a’lam
Muhamad Amrozi
Komentar
Posting Komentar