Maulid Nabi, Antara yang Melarang dan Membolehkan
Biasanya
kalau datang bulan Rabiul Awwal seperti saat ini kaum muslimin ramai membahas
tentang hukum maulid nabi. Hal ini terus berulang setiap tahunnya, seakan tak
bosan-bosan membahasnya. Jadi bukan hanya maulid nabi saja yang berulang
perayaannya, tapi pembahasan tentang hukum maulid itu sendiri selalu berulang
setiap tahunnya.
Bulan
Rabiul Awwal memang merupakan bulan dilahirkannya manusia agung, kekasih Allah,
nabi terakhir yang diutus oleh Allah sebagai rahmatan lilalamin, Abu Al Qasim,
Muhammad bin Abdillah shallallahu ‘alaihi wasallam, walaupun nanti para ahli
sejarah berbeda pendapat tentang tanggal berapa dari bulan tersebut beliau
dilahirkan.
Diantara
kaum muslimin sendiri ada yang rutin melakukan maulid setiap tiba bulan Rabiul
Awwal karena meyakini perbuatan ini adalah sebuah ibadah dan tanda
kecintaan ummat kepada sang nabi, dan ini apa yang dilakukan mayoritas
masyarakat bumi pertiwi Indonesia ini. Namun ada juga yang tidak mau
melakukannya karena maulid menurut mereka adalah sesuatu yang baru yang tidak
pernah dilakukan oleh Rasulullah, para sahabat dan orang-orang hidup masa-masa
terbaik atau bisa disebut dengan bid’ah, dan bid’ah menurut mereka semuanya
adalah sesat.
Agar
kita tidak bingung lagi dengan perdebatan tentang hukum merayakan maulid nabi
yang selalu terulang setiap tahunnya, pada tulisan ini saya ingin menyebutkan
pendapat-pendapat para ulama mengenai hukum maulid tersebut. Masalah ini
hukumnya selamanya akan menjadi perselisihan antar para ulama dan juga mereka
yang awam. Setelah membaca kesana-kemari saya berkesimpulan bahwa dalam masalah
perayaan maulid ini ada tiga pendapat:
Pendapat
Seputar Perayaan Maulid Nabi
1. Bid’ah dan Tidak Boleh
Perayaan
maulid adalah sebuah bid’ah; karena perayaan ini merupakan sesuatu yang baru
dan tidak pernah dilakukan oleh Nabi shallallahu alaihi wasallam, para sahabat
beliau dan para ulama yang hidup di masa keemasan Islam, dan kalau perkara itu
bid’ah maka hukum melakukannya adalah haram; karena semua bid’ah adalah sesat.
2. Boleh
dan Disyari’atkan
Merayakan
maulid Nabi shallallahu alaihi wasallam merupakan hal yang disyaria’atkan dan
merupakan ibadah yang dianjurkan; karena ini merupakan tanda cinta kepada
Rasulullah, dan sebagai tanda kegembiraan atas diutusnya seorang nabi sebagai
rahmatan lil’alamin.
3. Bid’ah,
Tapi Bisa Boleh dan Tidak Boleh
Merayakan
maulid menurut pendapat ketiga ini harus diperinci. Penyuara pendapat ketiga
ini sepakat dengan mereka yang mengatakan bahwa maulid adalah bid’ah, tetapi
perlu diketahui bahwa bid’ah bukanlah sebuah hukum; karena hukum taklify dalam
disiplin ilmu Ushul Fiqih hanya ada 5, yaitu wajib, sunnah, haram, makruh dan
mubah. Maka oleh karena itu, bid’ah –dalam masalah ini maulid- masih perlu
status hukum; karena menurut mereka tidak semua bid’ah itu sesat lalu hukumnya
haram. Menurut mereka pemilik pendapat ini, perayaan maulid bisa
jadi baik dan bisa jadi tidak baik atau haram tergantung apa yang dilakukan
dalam perayaan tersebut, jika yang dilakukan dalam perayaan maulid itu sesuatu
yang baik-baik seperti mengenalkan ummat pada sirah nabi, perjuangan dan
pengorbanan beliau, pembacaan shalawat dan ayat-ayat Al Qur’an dan lainnya,
maka perayaan maulid hukumnya baik, namun jika yang dikerjakan dalam perayaan
tersebuta sebuah kemunkaran apapun bentuknya yang dilarang oleh agama, maka
perayaan tersebut hukumnya haram.
Dalil
Setiap Pendapat
Bida’ah
dan Tidak Boleh
Mereka
yang mengatakan perayaan maulid Rasulullah shallallahu alaihi wasallam itu
adalah sesat dan haram bedalil dengan hadits-hadits yang melarang untuk membuat
suatu ibadah baru dalam Islam dan menganngap bahwa semua bid’ah itu adalah
sesat. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
وإياكم ومحدثات الأمور، فإن كل محدثة بدعة، وكل
بدعة ضلالة
“jauhilah
perkara-perkara baru yang diada-adakan (dalam urusan gama); karena setiap
perkara yang baru itu bid’ah, dan setiap bid’ah itu sesat” HR Abu Daud dan
lainnya
Dalam
hadits ini nabi menegaskan bahwa setiap perkara bid’ah itu semuanya sesat, dan
maulid adalah perkara baru dalam agama.
Dalam
hadits lain yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dari Bunda ‘Aisyah
radiallahu ‘anha beliau berkata: Rasulullah shallallahu alaihi wasallam
bersabda:
من أحدث في أمرنا هذا ما ليس فيه، فهو رد
“Barang
siapa yang melakukan hal baru, dalam urusan kami (agama) yang tidak ada
sandaranya maka tertolak” HR Bukhari & Muslim
Hadits
ini tegas menjelaskan tertolaknya perkara baru dalam agama, dan maulid adalah
perkara baru dalam agama.
Maka
berdalil dengan dua hadits ini dan hadits lain yang berbicara tentang bid’ah,
sebagian ulama berpendapat bahwa perayaan maulid hukumnya haram dan sesat;
karena maulid adalah perkara baru dalam agama yang diada-adakan.
Boleh
dan Disyari’atkan
Mereka
yang berpendapat bahwa perayaan maulid hukumnya boleh bahkan disyariatkan dan
merupakan sebuah ibadah berdalil dengan beberapa dalil, di antaranya:
Nabi
shallallahu alaihi wasalam menurut mereka pernah merayakan hari kelahirannya,
yaitu dengan berpuasa pada hari senin. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan
oleh Imam Muslim, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam ditanya tentang alas
an beliau berpuasa pada hari senin:
وسئل عن صوم يوم الاثنين؟ قال: ذاك يوم ولدت فيه،
ويوم بعثت - أو أنزل علي فيه
Nabi
ditanya tentang puasa hari Senin? Beliau bersabda: “itu haru akau dilahirkan,
dan hari aku diutus oleh Allah atau hari dimana wahyu pertama diturunkan
kepadaku” HR Muslim
Dari
hadits ini para ulama yang membolehkan perayaan maulid berkesimpulan bahwa nabi
sendiri merayakan hari lahirnya, yaitu dengan berpuasa, maka kita ummatnya ikut
merayakan hari lahir beliau, walaupun cara merayakannya berebda.
Dalam
Al Qur’an surat Al Anbiya ayat 107 Allah subhanahu wata’ala
menegaskan bahwa tujuan diutusnya Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam
adalah sebagai rahmat bagi semesta, Allah berfirman:
{وَمَا
أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ} [الأنبياء: 107]
“dan tidaklah
kami mengutus kamu melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam” QS Al
Anbiya 107
Dan
dalam surat Yunus ayat 58 Allah menyuruh hamba-hambanya agar bergembira atas
karunia dan rahmat yang Allah anugerhkan dan berikan kepada mereka, Allah
berfirman:
{قُلْ
بِفَضْلِ اللَّهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَلِكَ فَلْيَفْرَحُوا هُوَ خَيْرٌ مِمَّا
يَجْمَعُونَ} [يونس: 58]
“katakanlah:
dengan karuania Allah dan rahmatNya, hendaklah dengan itu mereka bergembira.
Karunia Allah dan rahmatNya itu adalah lebih baik dari apa yang mereka
kumpulkan” QS Yunus 58
Menurut
mereka yang membolehkan peryaan maulid, pada ayat kedua di atas Allah
memerintahkan hambanya agar bergembira atas rahmat-rahmat Allah, dan diantara
rahmat yang Allah berikan adalah adanya dan diutusnya Rasulullah shallallahu
alaihi wasallam sebagaimana yang Allah tegaskan pada ayat pertama di atas. Maka
perayaan maulid adalah salah satu bentuk gembira atas rahmat Allah karena
diutusnya Nabi shallallahu alaihi wasallam, dan itu dianjurkan sebagaimana pada
dua ayat tersebut.
Bid’ah,
Tapi Bisa Boleh dan Tidak
Menurut
sebagian ulama wlaupun perayaan maulid itu bid’ah, tapi bid’ah itu tidak selalu
buruk dan sesat, karena bid’ah sendiri bukan hukum, maka ia butuh hukum. Oleh
karenanya para ulama membagi bid’ah, ada yang membaginya menjadi dua, bid’ah hasanah
(baik) dan sayyiah (buruk) atau bid’ah mahmudah (terpuji) dan madzmumah
(tercela), seperti Imam ASy Syafi’i (w 204 H) rahimahullah misalnya, beliau
berpendapat bahwa bid’ah itu ada dua, seperti yang disebutkan oleh Imam
Syamsuddin Adz Dzahabi (w 748 H) dalam kitab Siyarnya:
قال الشافعي: المحدثات من الأمور ضربان: ما أحدث
يخالف كتابا، أو سنة، أو أثرا، أو إجماعا، فهذه البدعة ضلالة، وما أحدث من الخير
لا خلاف فيه لواحد من هذا، فهذه محدثة غير مذمومة
Imam
Asy Syafi’i berkata: perkara-perkara baru ada dua macam: perkara baru yang
dibuat menyelisihi dan menyalahi Al Qur’an atau sunnah atau Atsar atau Ijma’,
maka ini adalah bid’ah yang sesat, dan perkara baru dibuat dari hal yang baik,
tidak menyelisihi salah satu dari empat hal tersebut, maka ini adalah perkara
baru yang tidak tercela (Siyar A’lam An Nubala 10/70)
Ada
juga ulama yang membagi bid’ah menjadi lima, sesuai hukum taklify, sebagaiman
yang diutarakan oleh Shultha Al Ulama Izzuddin bin Abdissalam (w 660 H)
rahimahullah beliau berkata:
البدعة منقسمة إلى: بدعة واجبة، وبدعة محرمة،
وبدعة مندوبة، وبدعة مكروهة, وبدعة مباحة
Bidah
terbagi menjadi: bidah wajib, bidah haram, bidah mandub (sunnah), bidah makruh
dan bidah mubah (Qawaid Al Ahkam Fi Mashalih Al Anam 2/204)
Para
ulama yang membagi bid’ah menjadi beberapa bagian ini tentunya mempunyai dalil
sendiri, diantaranya sabda baginda Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam:
من سن في الإسلام سنة
حسنة، فله أجرها، وأجر من عمل بها بعده، من غير أن ينقص من أجورهم شيء، ومن سن في
الإسلام سنة سيئة، كان عليه وزرها ووزر من عمل بها من بعده، من غير أن ينقص من
أوزارهم شيء
“barang
siapa yang memulai perbuatan baik dalam Islam, maka ia akan memperoleh
pahalanya dan pahala orang yang melakukannya sesudahnya tanpa dikurangi
sedikitpun dari pahala mereka. Dan siapa yang memulai perbuatan jelek dalam
Islam, maka ia akan memperoleh dosanya dan dosa orang yang melakukannya
sesudahnya tanpa dikurangi sedikitpun dari dosa mereka” HR Muslim
Maka
oleh karenanya menurut mereka yang menganut pendapat ketiga ini, perayan maulid
bisa jadi baik dan terpuji jika ia tergolong dalam bid’ah hasanah/mahmudah, dan
bisa jadi buruk dan tercela bila ia termasuk bid’ah sayyiah/madzmumah, tentunya
dengan melihat apa saja yang dilakukan dalam ritual peraya meulid itu sendiri.
Allahu a’lam
Muhamad Amrozi
Komentar
Posting Komentar