Bersiwak Saat Puasa, Makruhkah?
Bersiwak merupakan sunnah yang sangat dianjurkan oleh Rasulullah shallalahu ‘alaihi wasallam setiap saat, sebagaiman diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam kitab Shahihnya:
أن رسول الله صلى الله عليه وسلم، قال: لولا أن أشق على أمتي لأمرتهم بالسواك
“Bahwasana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: seandainya tidak memberatkan ummatku, sungguh aku akan memerintahkan mereka untuk bersiwak”. HR. Bukhari
Para ulama sepakat bahwa bersiwak boleh dilakukan kapanpun, termasuk saat puasa sebelum tergelincir matahari, namun mereka berbeda pendapat tentang hukum bersiwak saat puasa setelah tergelincir matahari atau selepas tengah hari, diantara mereka ada yang mengatakan hukumnya makruh dan ada juga yang tidak. Berikut pendapat mereka dalam hal ini:
1. Mazhab Al-Hanafiyah
Para ulama Al-Hanafiyah berpendapat bahwa bersiwak saat puasa hukumnya boleh, baik siwak yang digunakannya itu kering ataupun basah, baik itu di pagi hari atau setelah tergelincir matahari.
- Al-Kasani (w. 587 H) salah satu ulama mazhab Al-Hanafiyah di dalam kitabnya Badai' Ash-Shanai' fi Tartibi As-Syarai' menuliskan sebagai berikut :
ولا بأس للصائم أن يستاك سواء كان السواك يابسا أو رطبا
Tidak mengapa bagi orang yang puasa bersiwak, baik siwaknya kering atupun basah.[1]
- Al-Marghinani (w. 593 H) salah satu ulama mazhab Al-Hanafiyah di dalam kitabnya Al-Hidayah Syarah Bidayatu Al-Mubtadi menuliskan sebagai berikut :
ولا بأس بالسواك الرطب بالغداة والعشي للصائم
Tidak mengapa bagi orang yang sedang puasa untuk bersiwak dengan siwak yang basah baik pada pagi maupun sore hari.[2]
2. Mazhab Al-Malikiyah
Para ulama Al-Malikiyah berpendapat bersiwak saat puasa hukumnya boleh, baik itu pagi ataupun sore hari, tapi dengan syarat bahwa siwak yang digunakannya adalah siwak kering dan tidak basah.
- Sahnun (w. 240 H) salah satu ulama mazhab Al-Malikiyah di dalam kitab Al-Mudawwanah Al-Kubra menuliskan pendapat Imam Malik rahimahullah tentang masalah ini sebagai berikut :
لا بأس به في أول النهار وفي آخره... لا أرى بأسا بأن يستاك الصائم في أي ساعة شاء من ساعات النهار، إلا أنه لا يستاك بالعود الأخضر
Tidak mengapa (bersiwak) pada pagi atau sore hari... saya memandang tidak mengapa bersiwak bagi orang yang puasa sepanjang hari kecuali jika dia bersiwak dengan kayu yang masih hijau (muda).[3]
- Ibnu Abdil Barr (w. 463 H) salah satu ulama mazhab Al-Malikiyah dalam kitab Al-Kafi fi Fiqhi Ahlil Madinah menuliskan sebagai berikut :
ولا بأس بالسواك للصائم في النهار كله عند مالك إذا كان السواك يابسا ويكرهه إذا كان رطبا
Tidak mengapa bersiwak bagi orang yang sedang puasa sepanjang siang menurut Imam Malik jika siwaknya kering, namun beliau memakruhkannya jika siwaknya basah.[4]
3. Mazhab Asy-Syafi’i
Para ulama Asy-Syafi’iyah berpendapat bahwa bersiwak saat puasa sebelum tergelincirnya matahari hukumnya boleh, tapi setelah tergelincir matahari bersiwak hukumnya makruh.
- An-Nawawi (w. 676 H) salah satu ulama dalam mazhab Asy-Syafi'iyah di dalam kitabnya Al-Majmu' Syarah Al-Muhadzdzab menuliskan sebagai berikut :
قال الشافعي والأصحاب يكره للصائم السواك بعد الزوال هذا هو المشهور ولا فرق بين صوم النفل والفرض... والاستياك قبل الزوال بالرطب واليابس جائز بلا كراهة
Al-Imam Asy-Syafi’i dan para ulamanya (al-ashab) mengatakan bahwa bersiwak sesudah tergelincirnya matahari (zawal) bagi orang yang berpuasa hukumnya makruh, dan ini adalah pendapat yang masyhur, baik puasa sunnah atau wajib, adapun bersiwak sebelum zawal baik dengan siwak yang kering ataupun basah maka hukumnya tidak makruh .[5]
- Ibnu Hajar Al-Haitami (w. 974 H) salah satu ulama mazhab Asy-Syafi'iyah di dalam kitab Al-Minhaj Al-Qawim menuliskan sebagai berikut :
و يكره للصائم ولو نفلا السواك بعد الزوال إلى الغروب وإن نام أو أكل كريهًا ناسيًا للخبر الصحيح: "لخلوف فم الصائم يوم القيامة أطيب عند الله من ريح المسك
Makruh bagi orang yang sedang puasa bersiwak setelah tergelincir sampai terbenam matahari sekalipun puasa sunnah walaupun setelah bangun tidur atau setelah makan sesuatu yang berbau karena lupa berdasarkan hadits shahih: bau mulut orang yang berpuasa pada hari kiamat nanti lebih wangi di sisi Allah dari minyak kasturi .[6]
4. Mazhab Al-Hanabilah
Para ulama Al-Hanabilah berpendapat bahwa bersiwak saat puasa hukumnya boleh sepanjang hari, tapi dalam madzhab ini ada erbedaan pendapat mengenai bersiwak dengan siwak yang basah, pendapat pertama, bersiwak dengan siwak yang basah hukumnya makruh, dan pendapat kedua, tidak.
- Ibnu Qudamah (w. 620 H) ulama dari kalangan mazhab Al-Hanabilah di dalam kitabnya Al-Mughni menuliskan sebagai berikut :
قال أحمد: لا بأس بالسواك للصائم... واختلفت الرواية عنه في التسوك بالعود الرطب، فرويت عنه الكراهة... وروي عنه لا يكره
Al-Imam Ahmad mengatakan: tidak mengapa bersiwak bagi orang yang berpuasa...dan ada beberapa riwayat pendapat dari beliau mengenai bersiwak dengan kayu yang basah, riwayat pertama dari beliau: bersiwak dengan kayu yang basah hukumnya makruh... dan riwayat yang kedua: tidak makruh.[7]
- Ibnu Taimiyah (w. 728 H) salah satu ulama mazhab Al-Hanabilah di dalam kitabnya Majmu' Fatawa menuliskan sebagai berikut :
ولم يقم على كراهيته دليل شرعي يصلح أن يخص عمومات نصوص السواك
5. Mazhab Azh-Zhahiriyah
Para ulama Azh-Zhahiriyah berpendapat bahwa bersiwak saat puasa hukumnya boleh dan tidak makruh.
- Ibnu Hazm (w. 456 H) salah satu tokoh mazhab Azh-Zhahiriyah di dalam kitab Al-Muhalla bil Atsar menepis pendapat Al-Imam Asy-Syafi’i yang mengatakan bahwa bersiwak bagi orang yang berpuasa hukumnya makruh. beliau menuliskan sebagai berikut :
الخلوف خارج من الحلق، وليس في الأسنان، والمضمضة تعمل في ذلك عمل السواك، وهو لا يكرهها، وقول الشافعي في هذا هو قول مجاهد، ووكيع، وغيرهما
Bau mulut itu keluar dari tenggorokan dan bukan dari gigi, sedangkan berkumur seperti bersiwak, dan dia (Al-Imam Syafii) tidak menganggapnya (berkumur) makruh, dan pendapat Syafi’i dalam masalah ini adalah pendapat Mujahid, Waki’ dan selain mereka.[9]
Demikian pendapat ulama mengenai hukum bersiwak saat puasa setelah tergelincir matahari.
Allahu a'lam
Muhamad Amrozi
Muhamad Amrozi
Komentar
Posting Komentar