Kenapa Para Ulama Fiqih Berbeda Pendapat?
Perebedaan dalam suatu masalah adalah hal yang wajar, selama masalah tersebut adalah Non Prinsip, akan tetapi islam menutup pintu untuk berbeda pendapat dalam hal Prinsip. perbedan pendapat antar ulama dalam berbagai masalah itu tidak menafikan sumber syari’ah yang satu yaitu allah subhanahu wa ta’ala.
Perbedaan pendapat antar ulama mulai tumbuh dan berkembang setelah wafatnya Rasulullah shalollahu ‘alaihi wa sallam, itupun sangat terbatas dalam beberapa masalah tertentu. akan tetapi bukan berarti para sahabat tidak pernah berbeda pendapat di masa Rasulullah shalollahu ‘alaihi wa sallam, para sahabat juga pernah berbeda pendapat di masa rasul, tapi itu sangat jarang dan sedikit sekali, karena jika mereka berbeda, mereka segera kembali dan bertanay kepada rasulullah dan beliau akan memberikan solusi.
Lapangan Yang Dinamis
Para fuqaha terkadang menemukan beberapa kejadian atau masalah yang tidak pernah ada dan terjadi sebelumnya, dan tidak ada nash baik dari al-qur’an atau sunnah yang secara tegas menerangkan hukum masalah-masalah tersebut, karena itulah mereka harus berjuang dan mengerahkan seluruh kemampuan mereka dalam berijtihad untuk mencapai dan mengetahui hukum permasalahan tersebut, dan semua itu sesuai kemampuan dan kapabilitas keilmuan masing-masing dari mereka terhadap al-qur’an dan sunnah, serta metode yang mereka gunakan untuk menghasilkan sebuah hukum. Maka dari situlah muncul perbedaan, akan tetapi perbedaan mereka bukan pada masalah ushul syari’at (dasar agama), juga bukan pada masalah keyakinan yang akan berakhir pada pertikaian dan perpecahan, tetapi perbedaan mereka hanya sebatas masalah-masalah furu’ (cabang agama) sesuai kuatnya dalil menurut pandangan mereka dan benarnya metode yang mereka gunakan untuk mengistinbath hukum tanpa ada fanatik dan kecendrungan mengikuti hawa nafsu.
Perbedaan ulama dalam mengistinbath masalah-masalah fiqih, dan beragamnya pendapat mereka dalam satu masalah adalah perkara biasa seperti yang saya sebutkan di atas, dikarenakan sebab-sebab yang menuntut mereka untuk berbeda, akan tetapi sering kita jumpai orang-orang yang merasa asing dengan perbedan ini dan mengingkarinya, bahkan mereka menganggap perbedaan ini sebagai bentuk permusuhan antar ulama madzhab, mereka beranggapan bahwa setiap orang dari para ulama tersebut berusaha untuk menjatuhkan lawannya dan berusaha untuk memenangkan pendapatnya, kemungkinan besar hal ini terjadi dikarenakan oleh minimnya pengetahuan tentang madzhab dan disebabkan oleh fanatik terhadap madzhab-madzhab tertentu. Seandainya mereka merujuk kembali apa yang di paparkan para ulama mengenai sebab-sebab yang membuat mereka berbeda maka mereka akan menyadari bahwa anggapan mereka tentang semua itu adalah sebuah kekeliruan yang disebabkan oleh ketidak tahuan semata.
Adapun sebab-sebab yang membuat ulama/fuqaha berbeda pendapat, para ulama berbeda dalam hal ini, tetapi penulis melihat sebab-sebab itu kembali pada 4 sebab yaitu :
1. Perbedaan dalam melihat/menganggap tsubutnya (tetapnya) sebuah nash atau tidak.
Ada nash yang sampai kepada seorang imam dan tidak sampai kepada imam yang lain, dan ada nash yang tsubut disisi seorang imam dan tidak tsubut disisi imam lain, hal ini dikarenakan oleh perbedaan mereka dalam mentautsiq (menganggap tsiqah/kuat) para perawi dan menthadh’if (menganggap dho’if/lemah) mereka. Tidak diragukan lagi bahwa tsubutnya (tetapnya) sebuah nash syar’i atau tidak adalah penyebab pertama perbedaan ulama dalam mengistinbath hukum-hukum islam baik yang telah terjadi ataupun yang akan terjadi; karena nash syar’i adalah rujukan pertama bagi para mujtahid, maka jika nash itu pasti tsubutnya dan dilalahnya jelas,juga tidak ada nash lain yang menentang nash tersebut wajib untuk menjadikan nash tersebut landasan untuk penetapan hukum suatu masalah, dalam masalah ini tidak ada satupun yang berbeda. Dan inilah maksud dari perkataan para mujtahid :
Ada nash yang sampai kepada seorang imam dan tidak sampai kepada imam yang lain, dan ada nash yang tsubut disisi seorang imam dan tidak tsubut disisi imam lain, hal ini dikarenakan oleh perbedaan mereka dalam mentautsiq (menganggap tsiqah/kuat) para perawi dan menthadh’if (menganggap dho’if/lemah) mereka. Tidak diragukan lagi bahwa tsubutnya (tetapnya) sebuah nash syar’i atau tidak adalah penyebab pertama perbedaan ulama dalam mengistinbath hukum-hukum islam baik yang telah terjadi ataupun yang akan terjadi; karena nash syar’i adalah rujukan pertama bagi para mujtahid, maka jika nash itu pasti tsubutnya dan dilalahnya jelas,juga tidak ada nash lain yang menentang nash tersebut wajib untuk menjadikan nash tersebut landasan untuk penetapan hukum suatu masalah, dalam masalah ini tidak ada satupun yang berbeda. Dan inilah maksud dari perkataan para mujtahid :
“إذا صح الحديث فهو مذهبي”
" jika hadits itu sohih maka itulah madzhabKu”
2. Perbedaan dalam memahami nash-nash syari’ah.
perbedaan ini terjadi karena adanya lafadzh yang musytarak (mempunyai makna ganda), mujmal, atau lafadzh yang diragukan apakah termasuk ‘amm atau khashsh, majaz atau haqiqah serta mutlaq atau muqayyad. dan perbedaan dalam hal ini semua kembali kepada perbedaan kemampuan para mujtahid dan kemungkinan mereka untuk memahaminya.
perbedaan ini terjadi karena adanya lafadzh yang musytarak (mempunyai makna ganda), mujmal, atau lafadzh yang diragukan apakah termasuk ‘amm atau khashsh, majaz atau haqiqah serta mutlaq atau muqayyad. dan perbedaan dalam hal ini semua kembali kepada perbedaan kemampuan para mujtahid dan kemungkinan mereka untuk memahaminya.
Sebagai contoh perbedan dalam memahami nash adalah perbedan para fuqaha dalam memaknai kalimat القرء, apakah kalimat ini berarti suci dari haid atau sebaliknya artinya adalah haid.
3. perbedaan dalam metode menggabungkan dan mentarjih (mengunggulkan) antara nash-nash yang saling bertentangan.
Dalam satu masalah terkadang ada dua atau lebih nash yang bertentangan, sehingga sulit bagi para mujtahid untuk memutuskan hukum masalah tersebut. Untuk memutuskanya para mujtahid biasanya memilih nash yang lebih kuat, atau mencari titik temau antara nash-nash tersebut. Dan dalam memutuskan nash yang mana yang lebih kuat atau mencari titik temu inilah para mujtahid berbeda pendapat.
Dalam satu masalah terkadang ada dua atau lebih nash yang bertentangan, sehingga sulit bagi para mujtahid untuk memutuskan hukum masalah tersebut. Untuk memutuskanya para mujtahid biasanya memilih nash yang lebih kuat, atau mencari titik temau antara nash-nash tersebut. Dan dalam memutuskan nash yang mana yang lebih kuat atau mencari titik temu inilah para mujtahid berbeda pendapat.
Sebagai contoh adalah perbedaan para fuqaha dalam masalah “apakah ma’mum diwajibkan membaca Al-Fatihah dibelakang imam dalam sholat jahriyyah (ynaring) atau tidak”.
4. perbedaan dalam kaidah-kaidah ushul dan sebahagian mashodir istinbath (sumber-sumber istinbath).
Hal ini dikarenakan para mujtahid mempunyai cara pandang dan metode yang berbeda dalam memilih suatu hadits atau dalil. Tidak sedikit hadits yang digunakan oleh seorang mujtahid untuk memutuskan hukum suatu masalah ditolak oleh mujtahid lain dalam masalah yang sama. Hal ini disebabkan karena sudut pandang mereka terhadap hadits itu berbeda.
Hal ini dikarenakan para mujtahid mempunyai cara pandang dan metode yang berbeda dalam memilih suatu hadits atau dalil. Tidak sedikit hadits yang digunakan oleh seorang mujtahid untuk memutuskan hukum suatu masalah ditolak oleh mujtahid lain dalam masalah yang sama. Hal ini disebabkan karena sudut pandang mereka terhadap hadits itu berbeda.
Ada mujtahid yang memandang dan menjadikan perbuatan dan fatwa sahabat rasulullah sholollahu ‘alaihi wa sallam sebagai landasan dalam menentukan hukum dan ada yang menolaknya, begitu juga ada mujtahid yang menganggap bahwa ‘amal (pekerjaan) orang madinah sebagai hujjah dan tidak oleh mujtahid lain.
Cara Menyikapi Perbedaan Para Ulama Dalam Hukum
Perbedaan ulama dalam masala-masalah fiqih ini harus disikapai secara arif dan bijaksana, seseorang tidak boleh bersiakap menutup mata dengan langsung menyalahkan satu pendapat ulama dan membenarkan pendapat lainnya. Sikap menutup mata dan fanatik terhadap satu pendapat dapat menimbulakan perpecahan dikalangan ummat, apalagi perbedaan ini hanya seputar masalah-masalah furu’iyyah (cabang), bukan masalah pokok. Mempertajam pertentangan dan perbedaan dalam hal ini hanya akan membuang-buang waktu dan energi. Bahkan para imam madzhab sendiri tidak ada satupun yang mengklaim bahwa pendapatnaya paling benar, merekapun tidak saling menyalahkan apalagi menjatauhkan. Dan tidak ada satupun diantara mereka yang menyuruh untuk hanya mengikuti madzhabnya, karena mereka menyadari bahwa mereka adalah manusia yang tidak luput dari kesalahan dan kekhilafan.
Al- Imam Asy-Syafi’i rahimahullah pernah berpesan kepada salah seorang muridnya yang bernama Ar-Rabi’ : “apa saja yang telah berlaku menurut sunnah Rasulullah padahal bersalahan dengan madzhabku, maka tinggalkan madzhabku itu karena sunnah itulah madzhab yang sebenarnya.” Beliau juga mengatakan : “ jangan mengambial pendapatku dan menganngap itulah yang paling benar....”. Dari semua yang di atas jelaslah bahwa di kalangan imam madzhab tidak ada perselisihan, apalagi perpecahan dan permusuhan.
Maka sepantasnya lah kita yang hanya ikut pendapat mereka dalam masalah-masalah fiqih meniru akhlak mereka. Saling menghargai pendapat yang berbeda, tidak mengklaim bahwa pendapat yang kita pegangi yang benar dan yang lain salah, agar tidak terjadi perpecahan di antara kita. benarlah kata salah seorang ulama: "kita saling membantu dalam hal yang kita sepakati, dan saling toleran pada hal yang tidak disepakati". kita berharap perbedaan pendapat dan pilihan madzhab tidak membuat kita berpecah; karena berbeda dan berpecah itu beda.
Allahu a'lam
Muhamad Amrozi
Komentar
Posting Komentar