Wanita Haidh Masuk Masjid, Bolehkah?

Haid berasal dari kata bahasa arab yang sudah diadopsi kedalam bahasa indonesia, haid adalah darah yang keluar dari rahim seorang perempuan yang bukan disebabkan karena suatu penyakit atau adanya proses persalinan. Haid merupakan sunnatullah yang terjadi pada setiap perempuan pada waktu-waktu tertentu, dan biasanya haid terjadi pertama kali pada perempuan sebagai tanda bahwa ia memasuki masa baligh.

Lamanya  waktu haid biasanya berbeda-beda antara satu perempuan dengan perempuan lain, dan para ulama dalam buku-buku fiqih biasanya merumuskan waktu tersebut. Batasan minimal haid adalah sehari semalam dan batasan normal biasanya satu minggu, adapun batasan maksimalnya adalah 15 hari.

Hukum Menyangkut Wanita Haid

Islam mengatur hukum-hukum yang berkaitan dengan perempuan yang sedang haid, apa saja yang tidak boleh dilakukan dan apa yang boleh. Hal-hal yang tidak boleh dilakukan oleh wanita haid diantaranya ada yang muttafaq ‘alaih (disepakati)  dan ada yang mukhtalf fih (diperdebatkan), diantara hal-hal yang tidak boeh dilakun yang disepakati adalah sholat, puasa dan berhubungan suami istri, adapun hal-hal yang masih diperdebatakan antara lain adalah masuk mesjid, membaca al-qur’an dan thowaf. Akan tetapi penulis di sini hanya akan membahas satu permasalahan, yaitu masalah masuknya wanita haid ke dalam mesjid.

Memelihara Kehormatan Mesjid

Mesjid merupakan tempat yang mulia dan salah satu syiar allah subhanahu wa ta’alaa di muka bumi ini. Sudah sepantasnya bagi kaum muslimin untuk menjaga kebersihannya. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh ummul mu’minin ‘Aisyah menyuruh untuk membangun mesjid dan juga memelihara kebersihannya serta memberinya wewangian, hal ini menunjukan pentingnya sebuah mesjid dan pentingnya menjaga kehormatanya, betapa tidak,karena  mesjid disebut juga sebagai baitullah (rumah allah), oleh karena itu sepantasnyalah mesjaid di jaga dan dihindarkan dari hal-hal yang menodai kehormatannya.

Kaitan antara judul tulisan ini dengan kehormatan mesjid adalah, ketika perempuan itu sedang haid ia akan sering mengeluarkan darah dari rahimnya, dan jika ia masuk ke dalam mesjid dikhawatirkan darah tersebut akan berceceran dan akan mengotori kehormatan mesjid, sedangkan islam sangat menjunjung tinggi kebersihannya. Akan tetapi apakah hal seperti itu (bercecerannya darah haid) masih mungkin terjadi ketika perempuan bisa untuk menjaga agar darah haidnya tidak berceceran, apalagi di masa sekarang ini perempuan dengan mudah bisa menjaga agar darah itu tidak berceceran kemana-mana dengan menggunakan pembalut.   Maka jika seperti itu, apakah boleh bagi perempuan untuk masuk ke dalam mesjid dalam keadaan haid, dan apakah benar ‘illah dilarangnya wanita haid masuk mesjid (bagi pendapat yang melarang) adalah ditakutkan mengotori mesjid.

Pendapat Para Fuqaha Dalam Hal Ini

Perkara ini sudah dibicarakan dan dibahas oleh para fuqaha beberapa abad lalu, mereka dalam masalah ini berbeda pendapat, ada 3 pendapat yaitu :

1. Jumhur ulama dari kalangan hanafiyya, malikiyyah dan beberapa ulama dari madzhab syafi’i berpendapat bahwa tidak boleh bagi wanita haid masuk ke dalam mesjid secara muthlaq.

2. Para fuqaha dari kalangan syafi’yyah dan mayoritas ulama  hanabilah mengatakan bahwa boleh masuk mesjid bagi wanita haid dengan syarat wudhu dan adanya keperluan, itupun hanya sekedar lewat.

3. Beberapa fuqaha dari madzhab maliky dan mayoritas fuqaha dari kalangan dzohiriyyah serta Al-muzani dan Ibnul Mundzir dari syafi’iyyah berpendapat bahwa boleh bagi wanita haid masuk ke dalam mesjid secara muthlaq.

Dalil Dari Setiap Pendapat

Untuk lebih jelas dan dapat diketahui pendapat mana yang lebih kuat (arjah) dan pendapat mana yang marjuh (tidak kuat), penulis akan menyebutkan dalil-dalil setiapa pendapat.

        I.       Pendapat yang melarang secara muthlaq

1. Hadits rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam:
إِنِّي لَا أُحِلُّ الْمَسْجِدَ لِحَائِضٍ وَلَا جُنُبٍ
“akau tidak menghalalkan mesjid bagi wanita haid dan tidak juga bagi orang junub”. (HR : Abu Daud)

     II.       Pendapat yang membolehkan dengan syarat

1. Firman allah subhanahu wa ta’alaa :
{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَقْرَبُوا الصَّلَاةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَى حَتَّى تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ وَلَا جُنُبًا إِلَّا عَابِرِي سَبِيلٍ حَتَّى تَغْتَسِلُوا}
“ Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam Keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan,dan jangan pula hampiri mesjid sedang kamu dalam Keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi” (QS : An-nisa 43)

Walaupun dalam ayat di atas tidak disebutkan wanita haid, akan tetapi para ulama mengqiyaskannya dengan oranag junub, sehingga ulama dari kalangan ini membolehkan baginya masuk kedalam mesjid dengan syarat hanya sekedar lewat.

2. Hadits rasulullah shalalahu ‘alaihi wa sallam ketika beliau berada di dalam mesjid:

يَا عَائِشَةُ! نَاوِلِينِي الثَّوْبَ فَقَالَتْ: إِنِّي حَائِضٌ، فَقَالَ: إِنَّ حَيْضَتَكِ لَيْسَتْ فِي يَدِكِ فَنَاوَلَتْهُ.

wahai ‘Aisyah berikan bajuku, maka ‘Aisyah berkata : aku sedang haid,maka rasulullag bersabda : “sesungguhnya haidmu tidak di tanagnmu (kuasamu), maka ‘Aisyah memeberikanny” (HR : Muslim , At-tirmidzi, Abu Daud, Nasa’i dan Ibnu Majah)

   III.       Pendapat ulama yang membolehkan secara muthlaq

1. Riwayat bermukimnya seorang perempuan hitam di mesjid pada masa rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam :

عَنْ عَائِشَةَ، أَنَّ وَلِيدَةً كَانَتْ سَوْدَاءَ كَانَ لَهَا خِبَاءٌ فِي المَسْجِدِ   قَالَتْ: فَكَانَتْ تَأْتِينِي فَتَحَدَّثُ عِنْدِي

“diriwayatkan dari ‘Aisyah radiallahu ‘anha bahwa seorang perempuan hitam bermukim di dalam mesjid, ‘Aisyah berkata : “ia sering mendatangiku dan berbicara denganku”

Dalam hadits di atas tidak ada keterangan bahwa nabi menyuruhnya keluar dari mesjid ketika masa haidnya.

2. Hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radiallahu ‘anhu :

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَقِيَهُ فِي بَعْضِ طَرِيقِ المَدِينَةِ وَهُوَ جُنُبٌ، فَانْخَنَسْتُ مِنْهُ، فَذَهَبَ فَاغْتَسَلَ ثُمَّ جَاءَ، فَقَالَ: أَيْنَ كُنْتَ يَا أَبَا هُرَيْرَةَ قَالَ: كُنْتُ جُنُبًا، فَكَرِهْتُ أَنْ أُجَالِسَكَ وَأَنَا عَلَى غَيْرِ طَهَارَةٍ، فَقَالَ: سُبْحَانَ اللَّهِ، إِنَّ المُسْلِمَ لاَ يَنْجُسُ

diriwayatkan dari Abi Hurairah radiallahu ‘anhu bahwa rasulullah bertemu dengannya di jalan madinah dan ia(abu hurairah) dalam keadaan junub,maka ia berkata : “maka aku bersembunyi darinya” kemudian ia pulang dan mandi kemudian datang kepada rasulullah, maka beliau bertanya : “ kemana engkau tadi hai Abu Hurairah?, ia menjawab : “tadi aku junub hai rasulullah, maka aku tidak ingin berada di majlismu dalam keadaan tidak suci” maka rasulullah bersabda : “ subbhanallah, sesungguhnya orang muslim itu tidak najis”(HR : Bukhari dan Muslim)

Dari urain di atas kita telah mengetahui pendapat-pendapat ulama tentang hukum wanita haid masuk ke dalam mesjid,  dan kita tahu bahwa setiap pendapat mempunyai dalil, selanjutnya terserah kitalah yang akan menentukan pendapat mana yang menurut kita kuat sesuai dalil tanpa menyalahkan pendapat-pendapat lain, karena perbedaan dalam hal ini hanya sekedar perbedaan dalam masalah furu’ yang di bolehkan dalam islam. Semua kalangan fuqaha di atas sudah mengerahkan kemampuan mereka untuk mencapai hasil yang maksimal dalam menentukan hukum masalah ini, akan tetapi akhirnya mereka harus berbeda karena sebab-sebab yang menuntut mereka untuk berbeda. Dan insya allah para mujtahid ini akan tetap mendapatkan ganjaran pahala dari allah atas pendapat-pendapat mereka, sebagaiman di sabdakan oleh rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam :

إذَا حَكَم الحَاكم فَاجْتَهَد فَأصَاب فَلَهُ أجْرَان وإذَا حَكَم الحَاكم فَاجْتَهَد فَأخْطأ فَلَهُ أجْرٌ

jika seorang hakim(dalam hal ini termasuk ulama) memutuskan hukum dan ia sudah berijtihad, maka jika ia benar ia akan mendapatkan dua pahala, dan jika ia memutuskan humkum ia juga sudah berijtihad namun ternyata salah, maka ia mendapatkan satu pahala

Jika benar ia memperoleh dua pahala, satu pahala ijtihad dan satu pahala kebenaranya, dan jika salah ia memperoleh satu pahala, yaitu pahala ijtihadnya, dan setiap dari mereka bisa benar dan bisa juaga salah, perlu kita ketahui bahwa kebenran yang muthlaq itu hanyalah milik allah subhanahu wa ta’alaa tuhan semesta alam ini.

Allahu a'lam

Muhamad Amrozi


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Berwudhu Tanpa Niat, Boleh dan Sahkah?

Air Musta'mal Menurut Empat Madzhab